ernæring! sunt
Pada ikan yang telah mati terdapat lima fase perubahan
biokimiawi dalam tubuhnya yaitu fase pre rigor, rigor mortis, post-rigor,
autolisis dan kerusakan. Dua fase pertama dipengaruhi lamanya dan suhu
penanganan ikan, sementara tiga fase terakhir dipengaruhi terutama aktivitas
enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan.
Secara umum metode untuk menilai pembusukan ikan
diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: metode sensori dan metode
instrumentasi (mikrobiologi, biokimia dan fisik). Namun pada praktiknya metode
pengujian kesegaran dibagi menjadi metode sensori, metode kimiawi dan metode
mikrobiologi.
Kesegaran menjadi parameter kualitas yang paling sering
ditemukan di pasaran. Kesegaran ikan ini dapat dinilai dengan berbagai metode
tetapi umumnya berbiaya mahal, memakan waktu dan tidak mudah digunakan.
Kesegaran dan
kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan
yang berbeda mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi,
kimia dan perubahan post mortem pada ikan.
Pembusukan Ikan dan Indikatornya
Komposisi
biokimia makanan (faktor intrinsik) dan hubungannya dengan faktor ekstrinsik
selama penyimpanan, memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap kesegaran
dan sebagian kualitas karena kedua faktor tersebut menentukan dan meningkatkan
pertumbuhan awal mikroba.
Pembusukan ikan
dimulai segera setelah ikan ditangkap dan dimatikan. Kombinasi perubahan
mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan perubahan permanen,
perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan.
pre rigor, rigor
mortis, post-rigor, autolisis dan kerusakan
Ketika ikan dimatikan terhenti sirkulasi darah dan
akibatnya pasokan oksigen untuk memfasilitasi energi molekul ATP yang
diperlukan untuk mengaktifkan kontraksi otot dan relaksasi dihambat.
Dengan cara ini glikogen dipecah untuk memungkinkan
produksi energi dalam otot ikan. Sementara tingkat glikogen menurun jumlah ATP
yang dihasilkan juga menurun. Karena interaksi antara aktin dan myosin dipicu
oleh myosin ATPase dan ion kalsium selama kontraksi otot yang membutuhkan ATP
untuk bahan bakar reaksi yang jumlahnya sudah terhambat setelah pemotongan
ikan, ion kalsium bocor ke otot-otot yang mengakibatkan kontraksi (kaku),
sebuah proses yang disebut sebagai rigor mortis.
Kaku terus selama
beberapa jam sebelum lemas karena tidak ada ATP yang memungkinkan otot-otot
untuk rileks lagi dan beroperasi sebagai diperlukan. Permulaan dan akhir rigor
mortis ditentukan oleh suhu selama penanganan (mechanical stress), ukuran dan
spesies ikan. Jenis ikan berukuran kecil, mengalami rigor mortis lebih awal dan
lebih cepat daripada jenis ikan besar (Huss 1995).
Proses rigor
mortis dapat mengakibatkan cacat mutu dalam daging ikan seperti kerusakan
otot/menganga, noda darah, kehilangan kandungan air dan pelunakan daging ikan
(Bremner 2002).
Pencapaian akhir dari rigor mortis bertepatan
dengan autolisis dan perubahan pembusukan berikutnya yang termasuk perubahan
pembusukan bakteri dan kimia yang akhirnya merontokkan mutu ikan, memberikan
rasa tidak enak atau tidak aman untuk dikonsumsi.
Pembusukan
autolisis
Pada saat ikan
dipotong, enzim di usus dan daging, sebelumnya terlibat dalam metabolisme
menjadi katalisator autolisis (self digestion). Perubahan autolisis menyebabkan
dekomposisi protein dan senyawa penting lainnya yang pada akhirnya
mengakibatkan pelunakan daging ikan dan melumerkan substansi dalam rongga usus.
Bakteri pembusuk
ikan
Aktivitas
bakteri merupakan penyebab utama kerusakan ikan terutama bakteri pembusuk
spesifik specific spoilage bacteria (SSB). Pada perubahan autolisis bakteri
mudah masuk ke daging dimana nutrisi didapatkan untuk pertumbuhan dengan
menguraikan berbagai komponen ikan seperti trimetilamina oksida (TMAO) dan
molekul protein non-nitrogen lainnya, lipid, asam amino dan sebagainya
menghasilkan bau yang tidak diinginkan.
Pembusukan Kimiawi
Hidrolisis dan oksidasi lipid merupakan faktor utama
penurunan mutu tergantung pada komposisi kimiawi ikan. Menurut Huss et al.
(1992), tahap utama dari oksidasi lipid menyebabkan produksi hydro peroksida
dihubungkan dengan rasa hambar dan kecoklatan, perubahan warna kekuningan pada
jaringan ikan; degradasi lebih lanjut hasil hydro peroksida menghasilkan
senyawa volatil; aldehid, keton dan alkohol menghasilkan aroma tengik yang
kuat. Mencegah proses oksidasi adalah dengan mengusahakan sekecil mungkin
terjadinya kontak antara ikan dengan udara bebas di sekelilingnya.
Perubahan post
mortem pada ikan adalah permanen. Daya simpan ikan segar pasca panen tergantung
pada pertumbuhan bakteri, suhu penyimpanan, penanganan dan kondisi fisiologis
ikan.